Agama menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata
"agama" berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.
Emile Durkheim mengatakan
bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama
semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui
rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
1. FUNGSI
AGAMA
Prof.
Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama membantu kita memahami beberapa
fungsi agama dalam masyarakat, antara lain:
· - Fungsi Edukatif (Pendidikan). Ajaran agama secara yuridis (hukum)
berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar pribagi
penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan yang
benar menurut ajaran agama masing-masing.
· - Fungsi Penyelamat. Dimanapun manusia berada, dia selalu
menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi
kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Menjadi
Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme (ajaran
menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak
bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya
bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus
meninggalkan perspektif (pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti
terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh.
Rencana itu tidak pernah terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami
secara sendirian. Bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan
untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar
agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur serta setara.
· - Fungsi Perdamaian. Melalui tuntunan agama seorang/sekelompok orang
yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian batin dan perdamaian dengan diri
sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu
dia/mereka harus bertaubat
dan mengubah cara hidup.
· - Fungsi Kontrol Sosial. Ajaran agama membentuk penganutnya makin
peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan,
keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk
tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan
yang ada.
· - Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas. Bila fungsi ini dibangun secara
serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar
"Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang memukau.
· - Fungsi Pembaharuan. Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi
seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru. Dengan fungsi ini seharusnya
agama terus-menerus menjadi agen perubahan basis-basis nilai dan moral bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
· - Fungsi Kreatif. Fungsi ini menopang dan mendorong fungsi
pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif dan inovatif bukan
hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
· - Fungsi Sublimatif (bersifat perubahan emosi). Ajaran agama
mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agamawi, melainkan
juga bersifat duniawi. Usaha manusia selama tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena untuk Alloh, itu
adalah ibadah.
2. DIMENSI KOMITMEN
AGAMA
Perkembangan
iptek mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Sekulerisai cenderung
mempersempit ruang gerak kepercayaan dan pengalaman keagamaan. Kebanyakan agama
yang menerima nilai- nilai institusional baru adalah agama – agama aliran semua
aspek kehidupan.
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
1.
dimensi keyakinan mengandung perkiraan/harapan bahwa orang yang religius akan
menganut pandangan teologis tertentu.
2. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
3. Dimensi pengerahuan, dikaitkan dengan perkiraan.
4. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
5. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan.
2. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
3. Dimensi pengerahuan, dikaitkan dengan perkiraan.
4. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
5. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan.
Agama
begitu univeersal , permanan (langgeng) , dan mengatur dalam kehidupan sehingga
bila tidak memahami agama , akan sukar memahami masyarakat . hal yang perlu
dijawab dalam memahami lembaga agama adalah , apa dan mengapa agama ada ,
unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama .
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe , meskipun tidak menggambarkan sebernarnya seccara utuh ( Elizabeth K. Nottingham,1954). Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Masyarakat tipe ini kecil terisolasi , dan terbelakang.
Anggota masyarakat menganut agama yang sama . oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama .agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain . sifat-sifat :
1. Agama memasukan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secar mutlak.
2. Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang , agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe , meskipun tidak menggambarkan sebernarnya seccara utuh ( Elizabeth K. Nottingham,1954). Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Masyarakat tipe ini kecil terisolasi , dan terbelakang.
Anggota masyarakat menganut agama yang sama . oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama .agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain . sifat-sifat :
1. Agama memasukan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secar mutlak.
2. Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang , agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Masyarakat-masyarakat
praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakat tidak terisolasi ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari tipe pertama.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “ perubahan batin “ atau kedalamann beragama , mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi , fasilitas , produksi produksi , pendidikan , dan sebagainya . Agama menuju ke pengkhususan fungsional . pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “ perubahan batin “ atau kedalamann beragama , mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi , fasilitas , produksi produksi , pendidikan , dan sebagainya . Agama menuju ke pengkhususan fungsional . pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
3. 3 Tipe
Kaitan Agama Dengan Masyarakat
Kaitan
agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954), yaitu:
1.
Masyarakat yang terbelakang dan nilai- nilai sakral
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama
yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat, dalam kelompok
keagamaan adalah sama.
2.
Masyarakat- masyarakat pra- industri yang sedang berkembang
Keadaan
masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai
dalam tipe masyarakat ini. Dan fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-
upacara tertentu.
3.
Masyarakat- masyarakat industri sekular
Masyarakat
industri bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua
aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik,
tetapi yang penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan
sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi
penting bagi agama, Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa
menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi
masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas.
Watak masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu
memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek
agama, dan kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
4. Pelembagaan
Agama
Pelembagaan
agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi
suatu kaum yang menganut agama.
Salah
satu lembaga agama adalah :
MUI berdiri
sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama
yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh
enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al
Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut danPOLRI serta
13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam
sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh
peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum
berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah
banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima
tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan
cendekiawan muslim berusaha untuk :
memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan
beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa serta
menjadi
penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik
antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional
meningkatkan
hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya
umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
MUI Sebagai
organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan
muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia
adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang
memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat
ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan
terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan
pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam
kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam,
Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi
organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan
tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili
kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat
kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim
dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian
Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan
dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar
negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing
serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa
organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan
menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan
bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap
Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan
lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)
5. PENYEBAB
ADANYA KONFLIK AGAMA
Sepanjang
sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk
persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang
lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama. Ini
adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah
terjadi di beberapa tempat di Indonesia.
Pada
bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar masyarakat beragama
khususnya yang terjadi di Indonesia dalam perspektif sosiologi agama.
Hendropuspito
mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik
sosial yang bersumber dari agama.1457
Dengan
menggunakan kerangka teori Hendropuspito, penulis ingin menyoroti konflik antar
kelompok masyarakat Islam - Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal,
yaitu:
A.
Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua
pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing
menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari
benturan itu.
Entah
sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya,
membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama
sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai
tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu
dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.
Agama
Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion),
yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior,
sebagai agama yang berasal dari Tuhan.
Di
beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran
sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan
dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan
politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian
pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh
mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan
mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di
Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik
dan malah menganut garis keras.1458
Karena
itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam
dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
B.
Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak
dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan
antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi
penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam
masyarakat.
Contoh
di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku
Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu
hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering
terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.
Di
beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan
Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura
di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban
keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan
dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan
agama ikut memicu terjadinya konflik.
C.
Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama
sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan
budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan
dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya
modern.
Tempat-tempat
terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa
waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu.
Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional:
sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena
itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan
budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah
ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik
antar kelompok agama di Indonesia.
D.
Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama
Fenomena
konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama
pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan
agama.
Di
berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam
sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami
kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia.
Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang
didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di
beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami
kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
CONTOH
KONFLIK AGAMA
KONFLIK
POSO
Ada
fakta sejarah yg sangat menarik bahwa gerakan kerusuhan yg dimotori oleh umat
Kristen di mulai pada awal Nopember 1998 di Ketapang Jakarta Pusat dan
pertengahan Nopember 1998 di Kupang Nusa Tenggara Timur kemudian disusul dgn
peristiwa penyerengan umat Kristen terhadap umat Islam di Wailete Ambon pada
tanggal 13 Desember 1998. Dan 2500 massa Kristen di bawah pimpinan Herman
Parino dgn bersenjata tajam dan panah meneror umat Islam di Kota Poso Sulawesi
Tengah pada tanggal 28 Desember 1998. Apakah peristiwa ini realisasi dari
pidato Jendral Leonardo Benny Murdani di Singapura dan ceramah Mayjend. Theo
Syafei di Kupang Nusa Tenggara Timur? Tetapi yg jelas Presiden B.J. Habibie yg
menurut L.B. Murdani lbh berbahaya dari gabungan Khomaeni Saddam Husein dan Khadafi
baru berkuasa 6 bulan saja sehingga perlu digoyang dan kalau perlu dijatuhkan.
Apabila fakta-fakta ini dikembangkan dgn lepasnya Timor-Timur dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia Gerakan Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka
serta tulisan Huntington 1992 setelah Uni Sovyet yg menyatakan bahwa musuh yg
paling berbahaya bagi Barat sekarang adl adalah umat Islam; dan tulisan Jhon
Naisbit dalam bukunya Megatrend yg menyatakan bahwa Indonesia akan
terpecah belah menjadi 28 negara kecil-kecil; maka dapat disimpulkan bahwa
peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut adl suatu rekayasa Barat-Kristen utk
menghancurkan umat Islam Indonesia penduduk mayoritas mutlak negeri ini.
Kehancuran umat Islam Indonesia berarti kehancuran bangsa Indonesia dan
kehancuran bangsa Indonesia berarti kehancuran/kemusnahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia . Oleh krn itu penyelesaian kerusuhan/konflik Indonesia
khususnya Poso tidak sesederhana sebagaimana yg ditempuh oleh Pemerintah RI
selama ini sehingga tiga tahun konflik itu berlangsung tidak menunjukkan
tanda-tanda selesai malah memendam “bara api dalam sekam”. Hal ini bukan saja
ada strategi global di mana kekuatan asing turut bermain tetapi ada juga ikatan
agama yg sangat emosional turut berperan. Sebab agama menurut Prof. Tilich “Problem
of ultimate Concern” sehingga tiap orang pasti terlibat di mana
obyektifitas dan kejujuran sulit dapat diharapkan. Karenanya penyelesaian
konflik Poso dgn dialog dan rekonsiliasi bukan saja tidak menyelesaikan konflik
tersebut sebagaimana pernah ditempuh tetapi malah memberi peluang kepada
masing-masing pihak yg berseteru utk konsolidasi kemudian meledak kembali
konflik tersebut dalam skala yg lbh luas dan sadis. Konflik yg dilandasi
kepentingan agama ditambah racun dari luar apabila diselesaikan melalui
rekonsiliasi seperti kata pribahasa bagaikan membiarkan “bara dalam sekam” yg
secara diam-diam tetapi pasti membakar sekam tersebut habis musnah menjadi abu.
Pada
tanggal 28 Desember 1998 Herman Parino membawa jemaahnya sebanyak 1.000 orang
utk memasuki Kota Poso tetapi dicegah oleh Polisi Brimob akibatnya mereka
berpencar di luar Kota Poso sebagian dari jemaat gereja meyerang Ummat Islam di
desa Buyung Katedo Kecamatan Lage Poso Kabupaten Poso. Penyerangan ini membunuh
warga Muslim dan membakar rumah-rumah orang-orang Islam. Jemaat gereja yg masih
berkeliaran di luar Kota Poso merasa belum puas terhadap penyerangan desa
Buyung Katedo pada tanggal 27 Mei 2000 maka mereka menyerang kembali umat Islam
di desa tersebut pada tanggal 3 Juli 2000 dgn jalan membunuh dgn sadis
anak-anak wanita-wanita dan orang-orang tua sebanyak 14 orang. Kemudian
membakar masjid dan rumah-rumah yg masih tersisa.
Dalam
peningkatan konsolidasi umat Kristen Gereja Kristen Sulawesi Tengah membentuk
Crisis Centre GKST dipimpin oleh Pendeta Renaldy Damanik. Tidak lama setelah
Crisis Centre berdiri maka umat Kristen menyerang Pondok Pesantren Walisongo di
desa Sintuwu Lemba Poso dgn membantai umat Islam dan membakar pondok Pesantren
tersebut.
Pada
tanggal 6 Agustus 2001 171 orang delegasi Pendeta Kristen yg tergabung dalam
Gereja Kristen Sulawesi Tengah mendatangi Pemerintah Daerah Kabupatan Poso utk
menuntut supaya Kabupaten Poso dibagi dua 50 % utk umat Kristen dan 50 % utk
ummat Islam.
Sesuai
dgn janji umat Kristen bahwa ummat Islam boleh kembali de daerah-daerah yg
dikuasai umat Kristen seperti kecamatan Tentena Poso dgn aman dan selamat; maka
Drs. Hanafi Manganti pulang ke daerah Tentena ternyata ia dibunuh dgn sadis;
dan bersamanya terbunuh pula seorang wanita muslimah. Peristiwa ini terjadi
pada tanggal 6 Agustus 2001.
Pada
tanggal 20 Agustus 2001 umat Islam yg sedang memetik cengkeh di kebunnya di
desa Lemoro Kecamatan Tojo Kabupaten Poso diserang oleh 50-60 orang umat
Kristen yg berpakaian hitam-hitam membunuh dua orang Muslim dan mengobrak-abrik
rumah-rumah orang Islam. Pengungsi Laporan US Comitte of Refugees tentang
Indonesia yg diterbitkan Januari 2001 menyebutkan dalam kerusuhan/konflik Poso
yg terjadi selama tiga tahun belakangan ini pihak Muslim telah menderita secara
tidak seimbang. Dalam laporan itu disebutkan jumlah pengungsi akibat konflik
Poso kini sebanyak hampir 80.000 orang dan diperkirakan 60.000 orang adl
Muslim.
Para
pengungsi ini hidup menderita tanpa kejelasan masa depan mereka; dan mereka
kehilangan hak-haknya berupa tanah kebun coklat cengkih kopra rumah harta benda
bahkan nyawa sanak-saudaranya. Bantuan makanan obat-obatan sangat terbatas
sehingga penyakit senantiasa menghantui mereka. Bantuan hukum umtuk meminta
keadilan praktis tidak ada. Bahkan nyawa mereka terancam tiap saat karena
diserang pasukan kelelawar Merah .
- Psikologi Agama, karya Prof. Dr. H. Jalaluddin, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar